MANAJEMEN ENERGI
ENERGI FINAL
? Struktur
Suplai-Kebutuhan Energi
Pada
gambar 1 bagan struktur model energi menunjukan berbagai macam sumber energi
yang akan dikonsumsi oleh konsumen, mulai dari bahan mentah hingga bahan jadi
yang siap dikonsumsi. Sumber-sumber energi yang berasal dari alam antara lain,
kayu (wood), minyak mentah (crude oil), air (hydro), gas alam (natural gas),
panas bumi (geothermal), nuklir (nuclear), dan biomassa (biomass). Pada bahan
bakar kayu berdasarkan bagan tersebut dapat langsung digunakan oleh konsumen.
Sedangkan bahan bakar batu bara harus mengalami proses penambangan batu bara
(coal mining) menjadi briquette plant
ataupun dapat dikonsumsi langsung, selain itu juga dapat digunakan untuk sumber
listrik yang kemudian didistribusikan ke konsumen. Bahan bakar minyak mentah
mengalami proses oil production
kemudian pengilangan minyak, selanjutnya dapat digunakan untuk bahan sumber
listrik ataupun dapat di konsumsi langsung oleh konsumen setelah mengalami
pengolahan.
Pada
sumber energi air dapat dijadikan sumber bahan energi listrik melalui PLTA
ataupun mikrohidro yang kemudian didistribusikan ke konsumen. Sedangkan gas
alam harus mengalami proses pengolahan untuk dijadikan sumber listrik ataupun
di konsumsi langsung oleh konsumen setelah diolah hingga menjadi produk Liquefied
natural gas (LNG). Panas bumi dan nuklir dapat dijadikan sumber energi
listrik yang kemudian didistribusikan ke konsumen. Biomassa dapat diolah
menjadi biofuel plant untuk di
komsumsi oleh konsumen. Berdasarkan bagan diatas kita mendapat gambaran secara
umum alur sumber energi dari alam hingga dapat didistribusikan ke konsumen.
?
Permintaan Energi per Jenis Energi
Permintaan
energi akan dipenuhi dari
berbagai sumber energi, sesuai dengan RES yang ada. Secara garis besar, total permintaan energi di
Indonesia mencapai 21.599 miliar SBM pada tahun 2008. Pada tahun 2030
permintaan energi mencapai 86.146 miliar SBM. Perkembangan permintaan energi
dari tahun 2008-2030 ditunjukkan pada Gambar di bawah ini.
Gambar 2 Proyeksi Permintaan Energi |
Berdasarkan gambar 2 proyeksi permintaan energi dapat
diketahui secara total, bahan bakar yang paling besar digunakan adalah penggunaan
batubara (coal), yaitu sebesar 72.65% dan penggunaan energi listrik
(electricity) sebesar 27.35%. peningkatan rata-rata energi per tahun sebesar
6.5%.
?
Batubara (coal)
Batubara adalah bahan bakar padat (bitumen padat)
yang tergolong sebagai bahan bakar fosil. Batubara terbentuk dari kumpulan
tumbuhan yang terlah terbitumenkan selama jutaan tahun. Saat ini produksi
batubara Indonesia cukup besar sebanyak 200 juta ton di tahun 2007 dan
diperkirakan akan terus bertambah. Sementara cadangan batubara Indonesia di
tahun 2005 mencapai lebih dari 70 milyar ton. Berdasarkan
hasil riset Departemen ESDM, potensi sumber daya batubara di Indonesia pada
akhir 2008 bertambah menjadi 105 miliar ton, sementara cadangan batubara
menjadi 22 miliar ton. Konsumsi terbesar batubara adalah untuk sektor industri lebih tepatnya di
industri pembangkit listrik. Selan itu batubara juga digunakan pada sektor
rumah tangga dalam bentuk briket. Konsumsi batubara tiap tahunnya semakin
meningkat seiring dengan pertumbuhan energi nasional. Berdasarakan gambar 3
pemakaian batubara konsumsi tahun 2008 mencapai 15.692 miliar SBM dan mencapai
62.585 miliar SBM di tahun 2030. Peningkatan penggunaan batubara ini disebabkan
menigkatnya permintaan untuk penyediaan bahan bakar pada proyek pembangkit 10
ribu MW dan sedikit dari permintaan sektor industri dan rumah tangga.
Pada tahun 2003 jumlah
perusahaan tekstil yang menggunakan bahan bakar batubara hanya 18 perusahaan
saja, namun pada tahun 2006 sudah bertambah menjadi 224 perusahaan tersebar di
Pulau Jawa terutama di Propinsi Jawa Barat. Kebutuhan batubaranya pun meningkat
sangat signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003 naik menjadi 3,07
juta ton pada tahun 2006. Selain itu batubara sebagai energi alternatif
mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi
sehingga dapat menggantikan peran bahan bakar minyak (BBM) dalam
kegiatan produksi untuk industri tersebut. Apalagi beberapa tahun terakhir ini
harga BBM terus mengalami kenaikan dan hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh
pelaku ekonomi di Indonesia. Salah satu industri yang mengalami hal tersebut
adalah industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, karena industri ini sangat
tergantung pada bahan bakar solar atau residu untuk kegiatan produksinya. Hal
ini mengakibatkan tingginya biaya produksi, sehingga mempengaruhi pula harga
penjualan produk. Sebagian dari mereka mengalami kebangkrutan kerena tidak
mampu menutupi tingginya biaya produksi dan kalaupun mampu bertahan, mereka
harus bersaing dengan produk-produk luar negeri, seperti Cina yang harganya
jauh lebih murah.
Dalam dua tahun terakhir ini
telah terjadi perubahan penggunaan energi yang begitu cepat, dimana batubara
mulai dilirik oleh industri tekstil sebagai bahan bakar dalam proses
produksinya. Beberapa perusahaan di antaranya telah mulai beralih menggunakan
batubara sebagai bahan bakar dan hal ini ternyata sangat efektif dalam menekan
biaya produksi. Disamping itu, pada perusahaan-perusahaan besar banyak dijumpai
upaya untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri dengan membangun power plant
yang berasal dari energi alternatif seperti batubara serta berusaha untuk
memenuhi kenutuhan boiler mesinnya dengan menggunakan pemanasan dari batubara.
Pemanfaatan batubara sebagai energi alternatif pada sektor industri
diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Gambaran ini dapat dilihat dari
gambar 5.3 pemakaian batubara yang merupakan proyeksi di beberapa tahun
mendatang hingga tahun 2030. Pertimbangan batubara dapat dijadikan energi
alternatif antara lain, ketersediaan pasokan batubara dianggap tidak terlalu
mengkhawatirkan mengingat cadangan batubara di Indonesia tersedia secara
berlimpah khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan, selain itu tingginya
harga energi minyak atau BBM yang sempat berfluktuasi serta ketidakstabilan
pasokan energi listrik PLN mendorong pelaku usaha untuk mencari alternatif lain
untuk pemenuhan kebutuhan energi yang kemudian sampai pada pilihan energi
batubara. Disamping itu seiring kemajuan teknologi, para pelaku usaha berusaha
melalukan penghematan energi dengan menggunakan mesin-mesin yang lebih hemat
energi dan mencari bahan bakar lain yang lebih hemat yang kemudian mulai
beralih ke bahan bakar batubara.
Berdasarkan gambar 3 proyeksi pemakaian batubara
terus mengalami peningkatan rata-rata 6.5% per tahun. Jika keadaan ini terus
menerus terjadi, maka sebagian besar sumber energi untuk sektor industri
tekstil bergantung pada satu sumber alterntif, yaitu batubara. Dalam hal ini,
sebaiknya sektor industri khususnya tekstil tidak hanya bergantung terhadap
satu jenis alternatif bahan bakar saja, melainkan melakukan diversifikasi
energi, penggunaan energi
terbarukan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Karena ketersediaan
bahan bakar fosil yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui, untuk itu para
pelaku usaha dapat menggunakan sumber energi alternatif bahan bakar non fosil.
Beberapa alternatif bahan bakar non fosil yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi terbarukan antara lain sinar matahari (langsung), aliran air
sungai, angin, gelombang laut, arus pasang surut, panas bumi, dan biofuel
(Bahan Bakar Nabati - BBN).
? Batubara
dan Lingkungan
Disatu
sisi kebijakan energi 2025 menetapkan bahwa batubara merupakan salah satu
sumber energi alternatif yang penggunaannya diharapkan terus meningkat. Tetapi
disisi yang lain banyak yang mengkhawatirkan tentang dampak lingkungan dari
penggunaan batubara itu sendiri yang pencemarannya dapat berasal dari
perusahaan penambangan batubara serta industri yang menggunakan batubara.
Pemanasan
global atau efek rumah kaca merupakan isu lingkungan yang marak
diperbincangkan. Efek rumah kaca dihasilkan dalam gas-gas atmosfir bumi (rumah
kaca) yaitu CO2 (50%), CH4 (metana sebesar 20%), O3
(5%), N2O (10%) dan CFC (15%), peningkatan dari jumlah gas-gas
tersebut akan mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Batubara sebagai salah
satu sumber energi fosil yang mengandung CO2, metana, dan N2O
dapat menjadi salah satu sumber dari peningkatan efek rumah kaca. Selain
pencemaran lingkungan yang berasal dari penambangan batubara, yang juga
dikhawatirkan dapat mencemari lingkungan adalah dari industri pengguna
batubara. Pencemaran dari penggunaan batubara ini dapat terjadi dalma proses
merubah batubara menjadi bahan bakar, yaitu pada saat pembakaran batubara
terutama ketika pembakaran yang dilakukan tidak sempurna.
Pembakaran
batubara seperti pada bahan bakar fosil lainnya, selalu diikuti oleh emisi
polutan CO2, SOx, dan NOx, diperkirakan sampai saat ini emisi total
CO2 dari pembakaran fosil di dunia mencapai 25 milyar ton pertahun
dimana sekitar 40% berasal dari pembakaran batubara (Suyartono, 2004). Selain
itu, kandungan nitrogen dalam batubara (sekitar 1%) pada kondisi normal dengan
pembakaran sempurna akan teroksidasi membentuk NO2, sedangkan pada kondisi
pembakaran tidak sempurna dengan suhu yang tinggi nitrogen akan membentuk N2O
yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca. Pembentukan N2O di
industri pengguna batubara sebenarnya dapat dihindari dengan penyempurnaan
kinerja boiler batubara untuk mencegah terjadinya pembakaran tidak sempurna
(Tekmira, 2005).
Di
Indonesia, limbah dari pembakaran batubara ini menghasilkan fly ash dan bottom ash yang batas maksimum partikel 150 miligram/m3,
sulfur dioksida (SO2) 750 miligram/m3, nitrogen oksida
(NO2) 850 miligram/m3 dan opasitas 20% (Tekmira, 2005).
Pemerintah lewat PP Nomor 18 tahun 1999 mengkategorikannya limbah dari batubara
tersebut sebagai limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang memiliki definisi
sebagai sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan
atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat encemarkan dan atau merusak
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lainnya.
Dengan
pengkategorian sebagai limbah B3 maka dalam penanganan limbahnya perlu
perlakuan khusus dan tidak boleh langsung dibuang kedalam media lingkungan
hidup. Pengolahan limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
pasal 1 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3. Dalam
rangkaian pengolahan tersebut disebutkan bahwa yang melakukan adalah badan
usaha.
Di
Indonesia sendiri, dengan adanya kebijakan yang menuntut pengunaan energi
batubara yang lebih tinggi disatu sisi dan adanya dampak negatif yang
ditimbulkan disisi lain, penerapan Teknologi Bersih Batubara (TBB)2) atau Clean Coal
Technology merupakan suatu keharusan. Dengan adanya berbagai TBB yang dikembangkan
oleh negara maju memberikan pilihan bagi Indonesia untuk meningkatkan
penggunaan batubara dengan dampak lingkungan yang kecil. Pengurangan dampak
negatif atau pengurangan emisi bahan polusi dari penggunaan batubara dapat
dilakukan dalam berbagai tahap (Suyartono, 2004), yaitu :
1. Sebelum pembakaran, ini dapat dilakukan dengan cara
pencucian batubara atau mengkonvesikan batubara menjadi bahan bakar gas atau
sintetis.
2. Selama pembakaran, dapat dilakukan pembakaran misalnya
dengan menggunakan Fluidized Bed
Combustion (FBC).
3. Sesudah pembakaran, yaitu dengan menangkap gas-gas SOx
(Flue Gas Desulfurization) dan NOx serta penangkapan debu dengan menggunakan Electrostatic Precipitator dan Filter Bag House.
Gambar 4 Bagan Potensi Global Warming |
Pemanfaatan TBB di berbagai industri pengguna batubara
masih perlu digalakan, misalnya masih ada PLTU (Salak, Ombilin) yang
menggunakan sistem traveling gate
tanpa pengurangan emisi gas dan hanya dua PLTU yang menggunakan pulverized coal yang dilengkapi dengan Electrostatic Precipitator dan Filter Bag House. Proses yang sekarang
sedang dikembangkan adalah penggunaan coal
water mixture yang dapat
mengurangi emisi bahan polusi serta akan lebih ekonomis dibandingkan dengan
pemakaian PLTU yang didesain untuk minyak (Tekmira, 2005). Namun penggunaan TBB
tersebut akan berakibat pada meingkatnya biaya investasi (10%-25%) dan akan
berimplikasi pada mahalnya harga output energi yang dihasilkan PLTU sehingga
penerapan TBB tersebut perlu dilakukan secara bertahap, sementara penerapan TBB
pada industri masih terbatas pada peningkatan nilai kalori dengan Carbonatec Drying Technology, belum
sampai pada proses pembakaran. (Tekmira, 2005).
Berdasarkan gambar 4 bagan potensi global warming dari
pemakaian batubara di sektor industri, dapat dilihat bahwa potensi terjadinya
global warming terus mengalami peningkatan yaitu rata-rata 6.5% per tahun. Jika
hal ini terus terjadi, maka konsumsi batubara dapat berdampak negatif terhadap
lingkungan. Dampak negatif tersebut antara lain, iklim mulai tidak stabil,
peningkatan permukaan laut, suhu global cenderung meningkat, gangguan ekologis,
serta dampak sosial dan politik. Untuk itu, sektor industri harus memikirkan
upaya pencegahan terjadinya global warming di beberapa tahun mendatang dan
menurunkan tingkat konsumsi batubara serta melakukan penanganan khusus untuk
pembuangan limbah batubara sebelum dibuang ke media lingkungan hidup.
Gambar 5 Diagram Intensitas Energi dan Konsumsi Energi |
Tingginya konsumsi energi juga
memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Sebuah survei tentang kualitas udara
di Jakarta mengungkapkan bahwa penduduk Jakarta tahun 2004 yang lalu hanya bisa
menikmati udara sehat selama 20 hari saja dalam satu tahun. Setiap 1 liter
bensin yang terbakar dalam kendaraan bermotor yang kita gunakan, menghasilkan
kurang lebih 2,24 kg emisi karbon. Sementara untuk 1 kWh listrik yang kita
gunakan, emisinya senilai 800 gr CO2. Selain berbahaya bagi kesehatan, karbon
dioksida (CO2) adalah penyebab terbesar dari efek pemanasan global. Dampak dari
pemanasan global adalah fenomena perubahan iklim. bila dulu kita mendapatkan
pelajaran bahwa Indonesia terdiri dari 6 bulan musim hujan (September –
Februari) dan 6 bulan musim kemarau (Maret – Agustus), kini siklus musim
hujan/kemarau itu tak lagi bisa dipastikan.
Perubahan iklim ini memberikan dampak
yang sangat besar bagi Indonesia. Bencana banjir di Jakarta pada tahun 2002
memberikan gambaran bagaimana perubahan iklim telah membuat kehidupan manusia
begitu sengsara. Selain menghancurkan rumah, banjir juga membawa dampak sosial
lainnya seperti penyebaran penyakit, terganggunya produktifitas, dan lain-lain.
Belum lagi akibat-akibat lain seperti gagal panen karena musim yang susah lagi
diprediksi. Penyakit-penyakit seperti malaria dan demam berdarah juga
diindikasikan sebagai dampak dari perubahan iklim. Ketika cadangan minyak
menipis, kualitas lingkungan menurun dan harga energi makin mahal, sudah
saatnya subsidi didistribusikan tepat sasaran dan hanya dinikmati oleh mereka
yang tidak mampu. Subsidi energi harus dicabut dan dialihkan menjadi subsidi
langsung yang betul-betul dinikmati oleh rakyat miskin, misalnya subsidi untuk
pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pengelolaan subsidi harus dilakukan dengan
sungguh-sungguh sehingga tidak ada lagi kasus-kasus pemberian subsidi yang
salah sasaran seperti terjadi beberapa tahun belakangan ini.
? Listrik
(electricity)
Dalam upaya mengatasi defisit
listrik pemerintah telah menempuh dua sisi kebijakan, yaitu demand side management dan supply side policy. Berdasarkan sisi
permintaan atau konsumsi listrik untuk total permintaan energi dari seluruh
sektor juga mengalami peningkatan yang tinggi.
Gambar 6 Proyeksi Pemakaian Listrik |
Hal ini dapat dilihat pada
gambar 6 proyeksi pemakaian listrik dari 5.907 miliar SBM di tahun 2008 hingga
diproyeksikan mencapai 23.561 miliar SBM di tahun 2030 atau mengalami
peningkatan sebesar 6.5% tiap tahunnya. Sedangkan rasio elektrifikasi di
Indonesia pada tahun 2008 masih rendah, yaitu baru mencapai sekitar 66%. Hal
ini berarti bahwa sekitar 34% wilayah di Indonesia belum dapat menikmati aliran
listrik. Pada dasarnya konsumsi listrik di Indonesia terus mengalami
peningkatan, untuk itu dari pengelolaan permintaan berupaya untuk menekan
konsumsi listrik, terutama pada saat beban puncak antara pukul 17.00 hingga
22.00 malam. Dalam upaya penghematan ini ada tiga hal yang telah dilakukan oleh
pemerintah. Pertama, dalam rentang waktu tersebut, PLN meneteapkan tarif daya
maksimum yang besarnya dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan tarif
normal. Bagi sektor industri, kebijakan ini tentu menambah sisi biaya produksi.
Pada sisi lain kebijakan ini juga membuat dunia usaha melakukan penghematan
pada waktu tersebut. Kedua, kebijakan lain yang juga telah dijalankan pemerintah
dengan keluarnya SKB 5 Menteri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengalihkan waktu
kerja sektor industri ke ahri Sabtu dan Minggu, sehingga dapat dilakukan
pengalihan beban listrik sepanjang hari Senin hingga Jumat. Ketiga, untuk
sektor bisnis dan komersil, pada saat beban puncak dianjurkan menggunakan
genset selama dua hari dalam seminggu. Namun bagi sektor industri ketersediaan
listrik dan kebijakan tarif listrik merupakan masalah yang menjadi hambatan
untuk pemenuhan kebutuhan energi. Oleh karena itu, pelaku usaha saat ini mulai
beralih ke energi alternatif seperti batubara.
Sumber : Mariam Ayuni, Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral: Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan, Jakarta, 23
Desember 2010.
Sementara itu dari sisi pasokan
(supply side), upaya meningkatkan pasokan listrik menajdi agenda utama yang
perlu segera diselesaikan. Saat ini pemerintah tengah menjalankan proyek
percepatan pembangunan pembangkit listrik 10000 megawatt (MW) tahap I yang
telah dimulai sejak 2006 sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No. 71 Tahun
2006 tentang penugasan kepada PLN (Perseero) untuk melakukan percepatan
pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan batubara. Proyek percepatan
akan segera dilanjutkan dengan tahap II dengan kapasitas yang sama, dan
direncanakan akan menggunakan energi panas bumi. Untuk itu, kementrian energi
dan sumber daya mineral akan merubah paradigma dari supply side policy ke arah
demand side management. Seperti yang ditunjukan oleh penjelasan gambar 7
diatas. Perubahan paradigma ini dimaksudkan agar para pengguna energi atau
pelaku usaha melakukan konservasi energi, sehingga dapat mengefisiensikan
kebutuhan energi. Serta dapat memanfaatkan sumber energi terbarukan dan mengurangi
penggunaan energi fosil dengan merubah peran energi fosil sebagai faktor
penyeimbang, bukan faktor utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar