Senin, 17 Maret 2014

Kumpulan Teknik Manajemen Energi



MANAJEMEN ENERGI
ENERGI FINAL


? Struktur Suplai-Kebutuhan Energi

Gambar 1. Bagan Struktur Suplai
Kebutuhan Energi

Pada gambar 1 bagan struktur model energi menunjukan berbagai macam sumber energi yang akan dikonsumsi oleh konsumen, mulai dari bahan mentah hingga bahan jadi yang siap dikonsumsi. Sumber-sumber energi yang berasal dari alam antara lain, kayu (wood), minyak mentah (crude oil), air (hydro), gas alam (natural gas), panas bumi (geothermal), nuklir (nuclear), dan biomassa (biomass). Pada bahan bakar kayu berdasarkan bagan tersebut dapat langsung digunakan oleh konsumen. Sedangkan bahan bakar batu bara harus mengalami proses penambangan batu bara (coal mining) menjadi briquette plant ataupun dapat dikonsumsi langsung, selain itu juga dapat digunakan untuk sumber listrik yang kemudian didistribusikan ke konsumen. Bahan bakar minyak mentah mengalami proses oil production kemudian pengilangan minyak, selanjutnya dapat digunakan untuk bahan sumber listrik ataupun dapat di konsumsi langsung oleh konsumen setelah mengalami pengolahan.

Pada sumber energi air dapat dijadikan sumber bahan energi listrik melalui PLTA ataupun mikrohidro yang kemudian didistribusikan ke konsumen. Sedangkan gas alam harus mengalami proses pengolahan untuk dijadikan sumber listrik ataupun di konsumsi langsung oleh konsumen setelah diolah hingga menjadi produk Liquefied natural gas (LNG). Panas bumi dan nuklir dapat dijadikan sumber energi listrik yang kemudian didistribusikan ke konsumen. Biomassa dapat diolah menjadi biofuel plant untuk di komsumsi oleh konsumen. Berdasarkan bagan diatas kita mendapat gambaran secara umum alur sumber energi dari alam hingga dapat didistribusikan ke konsumen.


?  Permintaan Energi per Jenis Energi

Permintaan energi akan dipenuhi dari berbagai sumber energi, sesuai dengan RES yang ada. Secara garis besar, total permintaan energi di Indonesia mencapai 21.599 miliar SBM pada tahun 2008. Pada tahun 2030 permintaan energi mencapai 86.146 miliar SBM. Perkembangan permintaan energi dari tahun 2008-2030 ditunjukkan pada Gambar di bawah ini.

Gambar 2 Proyeksi Permintaan Energi

Berdasarkan gambar 2 proyeksi permintaan energi dapat diketahui secara total, bahan bakar yang paling besar digunakan adalah penggunaan batubara (coal), yaitu sebesar 72.65% dan penggunaan energi listrik (electricity) sebesar 27.35%. peningkatan rata-rata energi per tahun sebesar 6.5%.


   ?   Batubara (coal)

Batubara adalah bahan bakar padat (bitumen padat) yang tergolong sebagai bahan bakar fosil. Batubara terbentuk dari kumpulan tumbuhan yang terlah terbitumenkan selama jutaan tahun. Saat ini produksi batubara Indonesia cukup besar sebanyak 200 juta ton di tahun 2007 dan diperkirakan akan terus bertambah. Sementara cadangan batubara Indonesia di tahun 2005 mencapai lebih dari 70 milyar ton. Berdasarkan hasil riset Departemen ESDM, potensi sumber daya batubara di Indonesia pada akhir 2008 bertambah menjadi 105 miliar ton, sementara cadangan batubara menjadi 22 miliar ton. Konsumsi terbesar batubara adalah untuk sektor industri lebih tepatnya di industri pembangkit listrik. Selan itu batubara juga digunakan pada sektor rumah tangga dalam bentuk briket. Konsumsi batubara tiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan energi nasional. Berdasarakan gambar 3 pemakaian batubara konsumsi tahun 2008 mencapai 15.692 miliar SBM dan mencapai 62.585 miliar SBM di tahun 2030. Peningkatan penggunaan batubara ini disebabkan menigkatnya permintaan untuk penyediaan bahan bakar pada proyek pembangkit 10 ribu MW dan sedikit dari permintaan sektor industri dan rumah tangga.

Pada tahun 2003 jumlah perusahaan tekstil yang menggunakan bahan bakar batubara hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun 2006 sudah bertambah menjadi 224 perusahaan tersebar di Pulau Jawa terutama di Propinsi Jawa Barat. Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003 naik menjadi 3,07 juta ton pada tahun 2006. Selain itu batubara sebagai energi alternatif mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi  sehingga dapat menggantikan peran bahan bakar minyak (BBM) dalam kegiatan produksi untuk industri tersebut. Apalagi beberapa tahun terakhir ini harga BBM terus mengalami kenaikan dan hal ini sangat dirasakan dampaknya oleh pelaku ekonomi di Indonesia. Salah satu industri yang mengalami hal tersebut adalah industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, karena industri ini sangat tergantung pada bahan bakar solar atau residu untuk kegiatan produksinya. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya produksi, sehingga mempengaruhi pula harga penjualan produk. Sebagian dari mereka mengalami kebangkrutan kerena tidak mampu menutupi tingginya biaya produksi dan kalaupun mampu bertahan, mereka harus bersaing dengan produk-produk luar negeri, seperti Cina yang harganya jauh lebih murah.

Dalam dua tahun terakhir ini telah terjadi perubahan penggunaan energi yang begitu cepat, dimana batubara mulai dilirik oleh industri tekstil sebagai bahan bakar dalam proses produksinya. Beberapa perusahaan di antaranya telah mulai beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dan hal ini ternyata sangat efektif dalam menekan biaya produksi. Disamping itu, pada perusahaan-perusahaan besar banyak dijumpai upaya untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri dengan membangun power plant yang berasal dari energi alternatif seperti batubara serta berusaha untuk memenuhi kenutuhan boiler mesinnya dengan menggunakan pemanasan dari batubara. Pemanfaatan batubara sebagai energi alternatif pada sektor industri diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Gambaran ini dapat dilihat dari gambar 5.3 pemakaian batubara yang merupakan proyeksi di beberapa tahun mendatang hingga tahun 2030. Pertimbangan batubara dapat dijadikan energi alternatif antara lain, ketersediaan pasokan batubara dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan mengingat cadangan batubara di Indonesia tersedia secara berlimpah khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan, selain itu tingginya harga energi minyak atau BBM yang sempat berfluktuasi serta ketidakstabilan pasokan energi listrik PLN mendorong pelaku usaha untuk mencari alternatif lain untuk pemenuhan kebutuhan energi yang kemudian sampai pada pilihan energi batubara. Disamping itu seiring kemajuan teknologi, para pelaku usaha berusaha melalukan penghematan energi dengan menggunakan mesin-mesin yang lebih hemat energi dan mencari bahan bakar lain yang lebih hemat yang kemudian mulai beralih ke bahan bakar batubara.
  
Gambar 3 Proyeksi Pemakaian Batubara

Berdasarkan gambar 3 proyeksi pemakaian batubara terus mengalami peningkatan rata-rata 6.5% per tahun. Jika keadaan ini terus menerus terjadi, maka sebagian besar sumber energi untuk sektor industri tekstil bergantung pada satu sumber alterntif, yaitu batubara. Dalam hal ini, sebaiknya sektor industri khususnya tekstil tidak hanya bergantung terhadap satu jenis alternatif bahan bakar saja, melainkan melakukan diversifikasi energi, penggunaan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Karena ketersediaan bahan bakar fosil yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui, untuk itu para pelaku usaha dapat menggunakan sumber energi alternatif bahan bakar non fosil. Beberapa alternatif bahan bakar non fosil yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan antara lain sinar matahari (langsung), aliran air sungai, angin, gelombang laut, arus pasang surut, panas bumi, dan biofuel (Bahan Bakar Nabati - BBN).


?  Batubara dan Lingkungan

Disatu sisi kebijakan energi 2025 menetapkan bahwa batubara merupakan salah satu sumber energi alternatif yang penggunaannya diharapkan terus meningkat. Tetapi disisi yang lain banyak yang mengkhawatirkan tentang dampak lingkungan dari penggunaan batubara itu sendiri yang pencemarannya dapat berasal dari perusahaan penambangan batubara serta industri yang menggunakan batubara.

Pemanasan global atau efek rumah kaca merupakan isu lingkungan yang marak diperbincangkan. Efek rumah kaca dihasilkan dalam gas-gas atmosfir bumi (rumah kaca) yaitu CO2 (50%), CH4 (metana sebesar 20%), O3 (5%), N2O (10%) dan CFC (15%), peningkatan dari jumlah gas-gas tersebut akan mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Batubara sebagai salah satu sumber energi fosil yang mengandung CO2, metana, dan N2O dapat menjadi salah satu sumber dari peningkatan efek rumah kaca. Selain pencemaran lingkungan yang berasal dari penambangan batubara, yang juga dikhawatirkan dapat mencemari lingkungan adalah dari industri pengguna batubara. Pencemaran dari penggunaan batubara ini dapat terjadi dalma proses merubah batubara menjadi bahan bakar, yaitu pada saat pembakaran batubara terutama ketika pembakaran yang dilakukan tidak sempurna.

Pembakaran batubara seperti pada bahan bakar fosil lainnya, selalu diikuti oleh emisi polutan CO2, SOx, dan NOx, diperkirakan sampai saat ini emisi total CO2 dari pembakaran fosil di dunia mencapai 25 milyar ton pertahun dimana sekitar 40% berasal dari pembakaran batubara (Suyartono, 2004). Selain itu, kandungan nitrogen dalam batubara (sekitar 1%) pada kondisi normal dengan pembakaran sempurna akan teroksidasi membentuk NO2, sedangkan pada kondisi pembakaran tidak sempurna dengan suhu yang tinggi nitrogen akan membentuk N2O yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca. Pembentukan N2O di industri pengguna batubara sebenarnya dapat dihindari dengan penyempurnaan kinerja boiler batubara untuk mencegah terjadinya pembakaran tidak sempurna (Tekmira, 2005).
Di Indonesia, limbah dari pembakaran batubara ini menghasilkan fly ash dan bottom ash yang batas maksimum partikel 150 miligram/m3, sulfur dioksida (SO2) 750 miligram/m3, nitrogen oksida (NO2) 850 miligram/m3 dan opasitas 20% (Tekmira, 2005). Pemerintah lewat PP Nomor 18 tahun 1999 mengkategorikannya limbah dari batubara tersebut sebagai limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang memiliki definisi sebagai sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat encemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Dengan pengkategorian sebagai limbah B3 maka dalam penanganan limbahnya perlu perlakuan khusus dan tidak boleh langsung dibuang kedalam media lingkungan hidup. Pengolahan limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 pasal 1 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3. Dalam rangkaian pengolahan tersebut disebutkan bahwa yang melakukan adalah badan usaha.

Di Indonesia sendiri, dengan adanya kebijakan yang menuntut pengunaan energi batubara yang lebih tinggi disatu sisi dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan disisi lain, penerapan Teknologi Bersih Batubara (TBB)2) atau Clean Coal Technology merupakan suatu keharusan. Dengan adanya berbagai TBB yang dikembangkan oleh negara maju memberikan pilihan bagi Indonesia untuk meningkatkan penggunaan batubara dengan dampak lingkungan yang kecil. Pengurangan dampak negatif atau pengurangan emisi bahan polusi dari penggunaan batubara dapat dilakukan dalam berbagai tahap (Suyartono, 2004), yaitu :
1.    Sebelum pembakaran, ini dapat dilakukan dengan cara pencucian batubara atau mengkonvesikan batubara menjadi bahan bakar gas atau sintetis.
2.    Selama pembakaran, dapat dilakukan pembakaran misalnya dengan menggunakan Fluidized Bed Combustion (FBC).
3.    Sesudah pembakaran, yaitu dengan menangkap gas-gas SOx (Flue Gas Desulfurization) dan NOx serta penangkapan debu dengan menggunakan Electrostatic Precipitator dan Filter Bag House.

Gambar 4 Bagan Potensi Global Warming

Pemanfaatan TBB di berbagai industri pengguna batubara masih perlu digalakan, misalnya masih ada PLTU (Salak, Ombilin) yang menggunakan sistem traveling gate tanpa pengurangan emisi gas dan hanya dua PLTU yang menggunakan pulverized coal yang dilengkapi dengan Electrostatic Precipitator dan Filter Bag House. Proses yang sekarang sedang dikembangkan adalah penggunaan coal water mixture yang dapat mengurangi emisi bahan polusi serta akan lebih ekonomis dibandingkan dengan pemakaian PLTU yang didesain untuk minyak (Tekmira, 2005). Namun penggunaan TBB tersebut akan berakibat pada meingkatnya biaya investasi (10%-25%) dan akan berimplikasi pada mahalnya harga output energi yang dihasilkan PLTU sehingga penerapan TBB tersebut perlu dilakukan secara bertahap, sementara penerapan TBB pada industri masih terbatas pada peningkatan nilai kalori dengan Carbonatec Drying Technology, belum sampai pada proses pembakaran. (Tekmira, 2005).

Berdasarkan gambar 4 bagan potensi global warming dari pemakaian batubara di sektor industri, dapat dilihat bahwa potensi terjadinya global warming terus mengalami peningkatan yaitu rata-rata 6.5% per tahun. Jika hal ini terus terjadi, maka konsumsi batubara dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif tersebut antara lain, iklim mulai tidak stabil, peningkatan permukaan laut, suhu global cenderung meningkat, gangguan ekologis, serta dampak sosial dan politik. Untuk itu, sektor industri harus memikirkan upaya pencegahan terjadinya global warming di beberapa tahun mendatang dan menurunkan tingkat konsumsi batubara serta melakukan penanganan khusus untuk pembuangan limbah batubara sebelum dibuang ke media lingkungan hidup.

Gambar 5 Diagram Intensitas Energi
dan Konsumsi Energi

Tingginya konsumsi energi juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Sebuah survei tentang kualitas udara di Jakarta mengungkapkan bahwa penduduk Jakarta tahun 2004 yang lalu hanya bisa menikmati udara sehat selama 20 hari saja dalam satu tahun. Setiap 1 liter bensin yang terbakar dalam kendaraan bermotor yang kita gunakan, menghasilkan kurang lebih 2,24 kg emisi karbon. Sementara untuk 1 kWh listrik yang kita gunakan, emisinya senilai 800 gr CO2. Selain berbahaya bagi kesehatan, karbon dioksida (CO2) adalah penyebab terbesar dari efek pemanasan global. Dampak dari pemanasan global adalah fenomena perubahan iklim. bila dulu kita mendapatkan pelajaran bahwa Indonesia terdiri dari 6 bulan musim hujan (September – Februari) dan 6 bulan musim kemarau (Maret – Agustus), kini siklus musim hujan/kemarau itu tak lagi bisa dipastikan.

Perubahan iklim ini memberikan dampak yang sangat besar bagi Indonesia. Bencana banjir di Jakarta pada tahun 2002 memberikan gambaran bagaimana perubahan iklim telah membuat kehidupan manusia begitu sengsara. Selain menghancurkan rumah, banjir juga membawa dampak sosial lainnya seperti penyebaran penyakit, terganggunya produktifitas, dan lain-lain. Belum lagi akibat-akibat lain seperti gagal panen karena musim yang susah lagi diprediksi. Penyakit-penyakit seperti malaria dan demam berdarah juga diindikasikan sebagai dampak dari perubahan iklim. Ketika cadangan minyak menipis, kualitas lingkungan menurun dan harga energi makin mahal, sudah saatnya subsidi didistribusikan tepat sasaran dan hanya dinikmati oleh mereka yang tidak mampu. Subsidi energi harus dicabut dan dialihkan menjadi subsidi langsung yang betul-betul dinikmati oleh rakyat miskin, misalnya subsidi untuk pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pengelolaan subsidi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga tidak ada lagi kasus-kasus pemberian subsidi yang salah sasaran seperti terjadi beberapa tahun belakangan ini.


?  Listrik (electricity)

Dalam upaya mengatasi defisit listrik pemerintah telah menempuh dua sisi kebijakan, yaitu demand side management dan supply side policy. Berdasarkan sisi permintaan atau konsumsi listrik untuk total permintaan energi dari seluruh sektor juga mengalami peningkatan yang tinggi.

Gambar 6 Proyeksi Pemakaian Listrik

Hal ini dapat dilihat pada gambar 6 proyeksi pemakaian listrik dari 5.907 miliar SBM di tahun 2008 hingga diproyeksikan mencapai 23.561 miliar SBM di tahun 2030 atau mengalami peningkatan sebesar 6.5% tiap tahunnya. Sedangkan rasio elektrifikasi di Indonesia pada tahun 2008 masih rendah, yaitu baru mencapai sekitar 66%. Hal ini berarti bahwa sekitar 34% wilayah di Indonesia belum dapat menikmati aliran listrik. Pada dasarnya konsumsi listrik di Indonesia terus mengalami peningkatan, untuk itu dari pengelolaan permintaan berupaya untuk menekan konsumsi listrik, terutama pada saat beban puncak antara pukul 17.00 hingga 22.00 malam. Dalam upaya penghematan ini ada tiga hal yang telah dilakukan oleh pemerintah. Pertama, dalam rentang waktu tersebut, PLN meneteapkan tarif daya maksimum yang besarnya dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan tarif normal. Bagi sektor industri, kebijakan ini tentu menambah sisi biaya produksi. Pada sisi lain kebijakan ini juga membuat dunia usaha melakukan penghematan pada waktu tersebut. Kedua, kebijakan lain yang juga telah dijalankan pemerintah dengan keluarnya SKB 5 Menteri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengalihkan waktu kerja sektor industri ke ahri Sabtu dan Minggu, sehingga dapat dilakukan pengalihan beban listrik sepanjang hari Senin hingga Jumat. Ketiga, untuk sektor bisnis dan komersil, pada saat beban puncak dianjurkan menggunakan genset selama dua hari dalam seminggu. Namun bagi sektor industri ketersediaan listrik dan kebijakan tarif listrik merupakan masalah yang menjadi hambatan untuk pemenuhan kebutuhan energi. Oleh karena itu, pelaku usaha saat ini mulai beralih ke energi alternatif seperti batubara.
 
Gambar 7 Perubahan Paradigma
Pengelolaan Energi Nasional
Sumber : Mariam Ayuni, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral: Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan, Jakarta, 23 Desember 2010.



Sementara itu dari sisi pasokan (supply side), upaya meningkatkan pasokan listrik menajdi agenda utama yang perlu segera diselesaikan. Saat ini pemerintah tengah menjalankan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10000 megawatt (MW) tahap I yang telah dimulai sejak 2006 sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2006 tentang penugasan kepada PLN (Perseero) untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan batubara. Proyek percepatan akan segera dilanjutkan dengan tahap II dengan kapasitas yang sama, dan direncanakan akan menggunakan energi panas bumi. Untuk itu, kementrian energi dan sumber daya mineral akan merubah paradigma dari supply side policy ke arah demand side management. Seperti yang ditunjukan oleh penjelasan gambar 7 diatas. Perubahan paradigma ini dimaksudkan agar para pengguna energi atau pelaku usaha melakukan konservasi energi, sehingga dapat mengefisiensikan kebutuhan energi. Serta dapat memanfaatkan sumber energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil dengan merubah peran energi fosil sebagai faktor penyeimbang, bukan faktor utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar